MENGAPA PENDIDIKAN ITU PENTING?
Ma’asyiral muslimin, jama’ah
shalat jum’at rahimakumullah,
Marilah kita senantiasa
meningkatkan takwa kepada Allah subhanahu wata’ala. Karena bekal takwa inilah
yang akan menyelamatkan kita dari siksa neraka, tidak ada yang akan selamat
dari neraka, kecuali orang-orang yang bertakwa. Firman Allah Ta’ala, artinya,
ثُمَّ نُنَجِّي
الَّذِينَ اتَّقَوْا وَنَذَرُ الظَّالِمِينَ فِيهَا جِثِيًّا(٧٢)
“Kemudian Kami akan
menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zhalim
di dalam neraka dalam keadaan berlutut.” (QS.
Maryam: 72)
Kaum muslimin yang berbahagia,
Islam, agama yang sempurna,
sangat memperhatikan pertumbuhan generasi. Untuk itu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam telah memerintahkan kita agar memilih istri shalihah, penuh
kasih sayang dan kelembutan. Dari istri-istri yang shalihah ini, diharapkan
terlahir anak-anak yang shalih-shalihah, kokoh dalam beragama. Sehingga islam
menjadi kuat dan musuh merasa gentar. Demikianlah, ibu memiliki peran yang
dominan dalam membangun pondasi dan mencetak generasi, karena dialah yang akan
mendidik anak-anak dalam ketaatan dan ketakwaan kepada Allah subhanahu
wata’ala.
Perhatian Islam lainnya yang
terkait dan ikut berpengaruh dengan pendidikan anak, yaitu Rasulullah
menganjurkan agar orang tua memberi nama yang baik terhadap anak-anaknya. Suatu
nama akan turut memberi pengaruh pada anak. Sehingga banyak riwayat yang
menjelaskan Rasulullah merubah beberapa nama yang tidak sesuai dengan Islam.
Ketegasan Islam dalam mendidik
ini, juga bisa dikaji dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa
ketika anak menginjak usia tujuh tahun, hendaklah kedua orang tua mengajarkan
dan memerintahkan anak-anaknya untuk melakukan shalat. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
Yang artinya :
“Perintahkanlah anak-anakmu untuk
shalat ketika berusia tujuh tahun, dan pukullah jika enggan melakukannya bila
telah berusia sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur di antara mereka.”
(HR. Abu Daud, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam shahih Sunan Abi
Dawud. No. 466).
Perintah mengajarkan shalat,
berarti juga mencakup hal-hal berkaitan dengan shalat. Misalnya, tata cara
shalat, thaharah, dan kewajiban shalat berjama’ah, sehingga anak bisa lebih
dekat dan akrab dengan orangtuanya serta kaum Muslimin lainnya.
Adapun pukulan pada anak, Islam
memperbolehkan para orang tua untuk memukul, jika anak malas dan enggan
melakukan shalat. Tetapi hendaklah diperhatikan, pukulan tersebut dalam
batas-batas tarbiyah (pendidikan), dengan syarat bukan pukulan yang
membahayakan, dan bukan pula pukulan mainan, sehingga tidak ada pengaruh
apapun. Di antara tujuannya, supaya anak merasakan hukuman bila ia melakukan
kemaksiatan meninggalkan shalat.
Namun kita lihat pada masa ini,
pukulan, sebagai salah satu wasilah dalam tarbiyah, banyak ditinggalkan oleh kita
para orang tua. Dalih yang disampaikan, karena rasa sayang kepada anak dan
takut melanggar HAM. Padahal rasa sayang yang sebenarnya harus diwujudkan
dengan pemberian pendidikan. Dan salah satunya dengan dipukul saat anak melakukan
perbuatan maksiat.
Rasulullah juga memerintahkan
para orang tua supaya memisahkan tempat tidur anak-anak tidak sejenis yang
telah memasuki usia sepuluh tahun. Maksud pemisahan ini, ialah untuk
menghindari fitnah syahwat.
Oleh karena itu, jika orang tua
bertanggung jawab terhadap anak-anaknya saat mereka tidur, lalu bagaimana saat
mereka keluar dari rumah dan bergaul dengan masyarakat? Maka tentu orang tua
memiliki tanggung jawab yang lebih besar lagi. Kita orang tua hendaknya
senantiasa mengawasi anak-anak kita, menjauhkannya dari teman dan pergaulan
yang buruk lagi menyesatkan. Karena tarbiyah tidak hanya ketika berada di rumah saja,
namun juga ketika anak-anak berada di luar rumah. Sebagai orang tua kita
seyogyanya mengetahui tempat dan dengan siapa anak-anak kita bergaul. Ingatlah
jamaah.... orang tua adalah pemimpin, ia akan diminta tanggung-jawabnya.
ُ رَعِيَّتِهِ عَنْ مَسْؤُولٌ وَكُلُّكُمْ رَاعٍ كلُّكُمْ
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan
diminta pertanggungjawaban tentang yang kalian pimpin.” (Muttafaqun ‘alaih).
Ma’asyiral muslimin, jama’ah
shalat jum’at rahimakumullah,
Kebaikan anak menjadi penyebab
kebaikan, khususnya bagi orang tua dan keluarganya, dan secara umum untuk kaum
Muslimin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Yang artinya :
“Apabila seseorang telah meninggal dunia, maka terputuslah
semua amalannya kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat,
atau anak shalih yang mendoakan kedua orang tuanya.” (HR. Muslim)
Oleh karena itu, keberhasilan
pendidikan seorang anak dengan kebaikan dan ketaatannya, memiliki manfaat dan
pengaruh yang besar bagi para orang tua, baik ketika masih hidup maupun sesudah
meninggal dunia. Ketika orang tua masih hidup, sang anak akan menjadi hiburan,
kebahagiaan dan qurrata a’yun (penyejuk hati). Dan ketika orang tua sudah
meninggal dunia, maka anak-anak yang shalih senantiasa akan mendoakan,
beristighfar, dan bershadaqah untuk orang tua mereka.
Sebaliknya, betapa malang orang
tua yang anaknya tidak shalih dan ia durhaka. Anak yang durhaka tidak bisa
memberi manfaat kepada orang tuanya, baik ketika masih hidup maupun saat sudah
meninggal. Orang tua tidak akan bisa memetik buahnya, kecuali hanya kerugian
dan keburukan. Keadaan seperti ini bisa terjadi, jika kita para orang tua yang
tidak memperhatikan pendidikan atau tarbiyah anak-anaknya.
Ma’asyiral muslimin, jama’ah
shalat jum’at rahimakumullah,
Undang – undang Nomor 20 Tahun 2003 BAB IV pasal 7 mengisyaratkan bahwa
orangtua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar
kepada anaknya. Jadi jelaslah bahwa pendidikan agama karena merupakan
pendidikan dasar merupakan kewajiban kita sebagai orangtua. Disamping itu kita
mesti memberikan tarbiyah yang benar kepada anak-anak kita.
Salah satu contoh dalam tarbiyah
yang benar, yaitu hendaklah para orang tua bersikap adil terhadap semua
anak-anaknya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan kita,
أَوْلاَدِكُمْ بَيْنَ وَاعْدِلُوا اللهَ فَاتَّقُوا
“Maka bertakwalah kalian semua
kepada Allah dan berbuatlah adil kepada anak-anakmu.” (HR. Imam al-Bukhari).
Kaum Muslimin yang berbahagia,
Kita tidak boleh mengatakan bahwa
kebaikan ada di tangan Allah, atau hidayah terletak di tangan-Nya. Memang benar hidayah
berada di tangan Allah, sebagaimana firman ta’ala,
إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ
اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (٥٦(
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat
memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk
kepada orang yang dikehendaki-Nya. Dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang
mau menerima petunjuk”. (QS. Al-Qashash: 56)
Namun yang perlu diperhatikan,
faktor yang menjadi penyebab adanya kebaikan dan hidayah ialah karena peran
orang tua. Apabila para orang tua telah berperan secara maksimal dan telah
menunaikan kewajibannya dalam tarbiyah, maka hidayah berada di tangan Allah
subhanahu wata’ala. sedangkan jika orang tua lalai dan mengabaikan tarbiyah,
maka Allah subhanahu wata’ala akan memberikan balasan dengan kedurhakaan dan
keburukan kapada anak. Ingatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
Yang artinya :
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaaan fitrah, maka kedua
orang tuanyalah yang menyebabkan anak menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
(HR. al-Bukhari)
Di sinilah kita harus memahami
secara benar, betapa besar peran orang tua terhadap anak. Orang tua memiliki
tanggung jawab membentuk keimanan dan karakter anak. Dari orang tua itulah akan
terwujud sosok kepribadian seorang anak.
Perhatian terhadap anak merupakan
perkara yang teramat penting dan pertanggungjawaban yang besar di hadapan
Allah. Oleh karena itu, para manusia terbaik, yaitu para Nabi senantiasa mendoakan
kebaikan untuk diri dan anak keturunan mereka.
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam
berdo’a,
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
“Ya Rabbku, anugerahkanlah
kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih.” (QS.
Ash-Shaffat: 100)
رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ
ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا
إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Ya Rabb kami, jadikan kami
berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau, dan (jadikanlah) di antara
anak-cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau, dan tunjukkanlah kepada
kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah taubat kami.
Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS.
al-Baqarah: 128).
Nabi Zakaria
’alaihissalamberdo’a,
هُنَالِكَ دَعَا زَكَرِيَّا رَبَّهُ قَالَ رَبِّ هَبْ لِي
مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ
“Di sanalah Zakaria berdoa kepada
Rabbnya seraya berkata, “Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak
yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar do’a.” (QS. Ali ‘Imran: 38).
Begitu juga dengan para salaf
pendahulu kita, mereka berdoa,
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ
أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ
إِمَامًا
“Ya Rabb kami, anugerahkanlah
kepada kami isteri-isteri dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan
jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Furqan: 74).
Demikianlah para Nabi, meskipun
memiliki kedudukan dan dekat dengan Allah subhanahu wata’ala, mereka tetap saja
senantiasa berdoa penuh harap, memohon kepada Allah subhanahu wata’ala agar
dianugerahi keturunan yang shalih dan shalihah, maka bagaimana dengan kita?
Tentunya, kita tergerak dan lebih bersemangat melakukannya.
Oleh karena itu, marilah kita
berdoa dan selalu berusaha memberikan pendidikan kepada anak-anak kita dengan
berlandaskan agama yang shahih dan lurus.
Sebagai akhir dari khutbah
pertama ini marilah kita mendoakan anak-anak kita, adik-adik kita dan
saudara-saudara kita khususnya mereka yang akan mengikuti Ujian Nasional yang
insya Allah Minggu depan SMA dilanjutkan dengan SMP dan SD mudah-mudahan mereka
diberikan petunjuk, kemudahan, dan kesehatan
oleh Allah sehingga dalam mengikuti ujian yang dimaksud tidak menemukan
rintangan dan kesukaran serta mendapatkan jawaban yang benar.
Akhirnya, marilah kita menjaga
fitrah anak-anak kita. Yaitu fitrah di atas kebenaran dan kabaikan. Karena
semua yang kita lakukan atas diri anak, akan diminta pertanggungjawabannya di
hadapan Allah subhanahu wata’ala.
0 komentar:
Posting Komentar