Home » » Ma’rifat Menurut Sunan Kali Jaga

Ma’rifat Menurut Sunan Kali Jaga

Sunan Kali Jaga merupakan salah satu wali songo yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa bagian Tengah. Sebelumnya beliau bremukim di Cirebon, atas permintaan Raja demak saat itu (Raden Patah), beliau akhirnya pindah ke demak untuk mejadi Guru Suci di Demak. Beliau adalah satu-satunya wali “nyentrik” yang dalam menyebarkan ajaran agama Islam tidak seperti para anggota wali sango yang lain, beliau yang dari kecil telah akrab dengan adat dan tradisi Jawa, tidak meninggalkan begitu saja kebudayaan itu. Beliau lahir di Jawa, dan dengan alamiah punya “citra rasa” Jawa, njawani. Sewaktu kecil, Sunan Kali Jaga telah akrab dengan gamelan, jaranan, tayub, dan lain sebagainya.
Dari budaya inilah, beliau mulai mengatur strategi dakwah dalam rangka penyebaran agama Islam. Dibandingkan dengan para wali-wali yang lain, beliau lebih inhern dan kontens dalam budaya sebagai sarana untuk berdakwah. Salahsatu peninggalan yang berharga yang patut dilestarikan adalah ‘wayang kulit’ dan baju taqwa.

Sunan Kali Jaga atau syekh Malaya, dalam sejarah hidupnya lebih sering “tinggal” di jalanan daripada di istana atau rumah yang telah di sediakan oleh pemerintahan Demak. Beliau sering meninggalkan anak istrinya di rumah, menyebarkan agama Allah lebih penting baginya dari pada anak istrinya. Beliau mengorbankan semua yang dipunyai kepada Allah, bahkan hidupnya sendiri dikorbankan untuk itu.

Suluk Sunan Kali Jaga.
Ajaran Sunan Kali Jaga banyak termuat dalam kitab-kitab lama yang ditulis oleh para pujangga keraton, tetapi saat ini telah banyak buku yang memuat tentang ajaran-ajaran Sunan Kali Jaga. Untuk mencapai ma’rifat kepada Allah ada beberapa jalan yang harus dilalui oleh seseorang. Dengan tidak meninggalkan budaya Jawa, Sang Sunan memperkenalkan suluknya, yang mungkin di tanah Arab sendiri tidak ada atau memang kita yang belum mengetahuinya.
Pertama, seorang salik (orang yang ingin mencapai ma’rifat bil Allah) harus tahu tentang hakikat dirinya sendiri, yang terdiri dari beberapa hal. Diantaranya adalah mengetahui sedulur papat, istilah ini hanya ada dalam keyakinan orang-orang Jawa yang benar-benar njawani. Setelah itu, seorang salik dituntut untuk memahami dan menghayati sangkaning dumadi dan paraning dumadi, yaitu mengerti benar asal usul kehidupan dan hakikat kehidupan itu sendiri, serta memahami dan meyakini tujuan dari hidupnya.
Selanjutnya, seorang salik tidak hanya memahami dan mengerti saja tetapi juga melaksanakannya. Kedua, Setelah itu Sunan memperkenalkan konsep hamemayu hayuning bawana sebagi jalan terjal yang harus dilalui si salik sebelum mencapai tingkat yang lebih tinggi atau ma’rifat bil Allah.
Konsep hamemayu hayuning bawana adalah meneladani perilaku laku Kanjeng Nabi Muhammad saw, yakni sebagai rahmat lil alamin. Artinya bahwa si salik dituntut untuk menjalankan syari’at-syariat yang telah diajarkan Nabi Muhammad saw, yang terkenal dengan falsafah buah belimbing.
Ma’rifat Sunan Kali Jaga.
Seorang salik yang telah melaksanakan suluk, atau sesuatu yang harus dilakukan dan dilalui secara sungguh-sungguh, akan mendapatkan “buah manis dan lezat” yang lebih dikenal orang dengan sebutan hakikat.
Dalam bukunya Ahmad Chodjim (2001), seorang salik yang ingin ma’rifat harus melampaui empat hal, yaitu:
Pertama, takjub syahadat. Artinya, bahwa seseorang yang bersyahadat (penyaksian) akan keEsaan Tuhan harus disertai penghayatan yang benar-benar imani. Bila sebuah kesaksian yang hanya di bibir saja, tidak akan membawa dampak keruhanian apa-apa. Seorang yang merangkak naik ke tangga hakikat haruslah menyaksikan dalam hati bahwa Tiada Tuhan (yang wajib di sembah) selain Allah.
Kedua, takjub takbir. Tatkala seorang hamba mengucapkan takbir, sejatinya adalah Tuhanlah yang memuji kebesaranNya melalui mulut hambaNya. Takbir adalah pujian terhadap Dzat Tuhan, dengan ketakjuban terhadap takbir, seorang salik berarti telah terpatri dalam relung hatinya yang paling dalam bahwa hanya Tuhanlah yang Maha Besar. Ketiga, takjub dalam menghadap kepada Tuhan. Seorang salik yang sebenarnya, akan merasa kebahagian yang berbeda saat dia bertemu dengan Tuhannya atau bahkan bercakap-cakap dengaNya. Si salik akan merasa bahwa kemana pun dia menghadapkan wajahnya, disanalah dia jumpai Wajah Tuhan. Pengejahwantahan tersebut merupakan ketakjuban salik dalam proses menuju tangga tertinggi kehidupan, yakni ma’rifat bi Allah.
Keempat, takjub pada sakaratul maut. Kematian, sejatinya adalah perpindahan kehidupan dari alam dunia ke alam barzah (akhirat). Meskipun kita tak bisa belajar dari pengalaman orang yang telah mati sebelum kita, namun dalam al-Quran banyak cerita tentang bagaimana kematian itu, seperti cerita penghuni gua (ashabul kahfi) yang tidur selama 309 tahun. Mereka mati sementara seperti orang yang tertidur, gambaran ini harusnya menjadi pelajaran bagi si salik bahwa kematian tidaklah mengerikan seperti yang digambarkan olehh orang-orang. Bahkan, kematian adalah salah satu jalan kehidupan yang harus dilalui oleh siapa pun untuk menempuh perjalanan hidup selanjutnya.
Setiap manusia mendambakan kehidupan yang layak, baik saat hidup di dunia maupun saat hidup setelah kematian. Sunan Kali Jaga memberi pelajaran kepada kita tentang bagaimana melalui kehidupan di dunia yang fana ini. Sang Sunan memberitahukan kepada kita bahwa ma’rifat bi Allah adalah kenikmatan yang tiada bandingannya. Sebenarnya itulah kebahagiaan yang sesungguhnya bagi seluruh umat manusia yang mengakui keberAdaanNya.
Wallahu a’lamu bi shawab.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

subahnalloh sungguh ilmu yang bermanfaat..

Pondok Tercinta

JALAN DEPAN RAUDLATUL ULUM KENCONG